Jumat, 03 Mei 2013
Kisah Kasih Dewi Utari
Dewi Utari merupakan putri bungsu Prabu Matswapati (raja di Wiratha) dan Dewi Rekathawati, dari empat bersaudara,. Ketiga kakaknya yaitu Raden Seta, Raden Utara, dan Raden Wratsangka. Sebelum terjadinya perang Baratayuda, Dewi Utari menikah dengan Raden Abimanyu (putra Raden Janaka), padahal Raden Abimanyu sudah mempunyai istri, yaitu dewi Siti Sundari. Sebenarnya pernikahan Utari dan Abimanyu sudah direncanakan Bathara Kresna yang sudah mengetahui kalau pernikahannya dengan Dewi Siti Sundari itu tidak akan bisa mempunyai keturunan.
Ketika hari upacara pernikahan Raden Abimanyu dan Dewi Utari, Dewi Siti Sundari yang tidak tahu kalau suaminya menikah lagi, dititipkan ke Pringgodani. Gathutkaca pun diminta untuk merahasiakan pernikahan ‘tertutup’ adik sepupunya itu. Tapi biar bagaimanapun ditutupi, akhirnya Siti Sundari tahu juga kalau dimadu. Keraton Wiratha pun ikut gempar, tidak terima atas kelakuan Raden yang merupakan keturunan satriya Pandhawa itu . Namun, karena peran Prabu Kresna juga, kemarahan Dewi Siti Sundari bisa diredam, sampai akhirnya mereka berdua bisa saling menerima.
Ketika perang Baratayuda terjadi, di hari ke-13 Raden Abimanyu gugur terkena panah Kurawa. Walaupun gugur, Abimanyu telah berjasa besar karena berhasil menggagalkan pasukan musuh yang dipimpin Mahasenapati Pandhita Drona yang bermaksud menangkap Prabu Puntadewa. Selangkah lagi pasukan musuh akan sampai di pesanggrahan Puntadewa kalau Abimanyu tidak segera menghalangi dan menerjang, meski nyawa taruhannya.
Kematian Raden Abimanyu membawa duka mendalam bagi kedua istrinya. Dewi Siti Sundari bahkan ikut ‘bela pati’ kematian suaminya dengan melakukan ‘pati obong’ (membakar diri). Dewi Utari juga ingin melakukan hal yang sama, namun tidak mendapat ijin Prabu Kresna, dan juga ayahnya, Prabu Matswapati karena Dewi Utari sedang hamil tua. Setelah perang Baratayuda selesai di hari ke-18, sang Dewi melahirkan bayi laki-laki, yang diberi nama PARIKESIT. Kelak, sang bayi tersebut bisa menjadi raja di Astina.
(Sumber: Majalah Djoko Lodhang, edisi 47)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar